ARTIKEL AKHLAK DAN TRADISI MUHAMMADIYAH
Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri
manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan
perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia.
Dalam etimologi arti
akhlak adalah kebiasaan atau perbuatan. MenurutProf. Dr. Ahmad Amin
mengatakan bahwa akhlak adalah kebiasaan, kehendak.Di dalam Ensiklopedi
pendidikan bahwa akhlak adalah budi pekerti, watak, kesusilaan yang merupakan
akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama
manusia.
Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat yang tertanam
dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik
dan burruk seperti sabar, syukur, tawakal, birrul walidaini, syaja’ah dan
sebagainya (Al-Akhlaqul Mahmudah).
Dan sombong, takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya (Al-Akhlaqul Madzmuham).Sedangkan
akhlak menurut Iman Al-Ghozaly, Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan.
Jadi pada
hakekatnya Akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah menetap dalam jiwa
dan kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara
spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa pemikiran.Apabila lahir tingkah
laku yang indah dan terpuji maka dinamakan akhlak yang baik, dan apabila yang
lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah akhlak yang buruk. Selanjutnya
ia menjelaskan bahwa akhlak yang baik dapat mengadakan perimbangan antara tiga
kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan
kekuatan amarah.[21]
Segala perbuatan yang dilakukan manusia tidak terlepas
dari konsep akhlak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup akhlak
sangat luas. Kata akhlak memiliki kemiripan makna dengan etika, moral, dan budi
pekerti, sehingga makna akhlak sering disamakan dengan etika, moral, dan budi
pekerti.
Ruang lingkup
akhlak dalam pandangan syariat Islam sangat luas. Akhlak tidak hanya membahas
masalah etika pergaulan dan sopan santun saja, tetapi meliputi pola pikir,
selera, pandangan, sikap, perilaku, kecenderungan, dan keinginan yang ada pada
seseorang.
Dalam Islam,
akhlak mempunyai ruang lingkup yang lebih luas. Selain terkait dengan muamalah,
akhlak dalam Islam juga meliputi masalah ibadah, sosial, hukum, dan lain-lain.
Salah satu contohnya, yaitu akhlak terhadap Allah swt. Misalnya, adanya
kewajiban menjalankan rukun Islam dan rukun iman. Ketika sudah melaksanakan
syahadat, salat, dan puasa, berarti kita dikatakan berakhlak terhadap Allah
swt.
Syarat dan Pembagian Akhlak
Suatu perbuatan
baru dapat disebut cerminan akhlak, jika memenuhi syarat :
1. Dilakukan berulang-ulang sehingga hampir
menjadi suatu kebiasaan.
2. Timbul dengan sendirinya, tanpa pertimbangan
yang lama dan di pikir-pikir terlebih dahulu.
Secara garis
besarnya akhlak dibagi dua, yaitu :
1. Akhlak terhadap Allah SWT.
2. Akhlak terhadap makhluk (semua ciptaan Allah
SWT.)
Akhlak terhadap
makhluk dapat dibagi dua, yaitu :
1.Akhlak terhadap manusia
2.Akhlak terhadap bukan manusia
Akhlak terhadap manusia dibagi dua, yaitu :
1.Akhlak terhadap diri sendiri
2.Akhlak terhadap orang lain
Akhlak terhadap
bukan manusia dibagi dua, yaitu :
1.Akhlak terhadap makhluk hidup bukan manusia, seperti akhlak terhadap
tumbuh- tumbuhan flora dan fauna
2. Akhlak terhadap makhluk (mati) bukan manusia, seperti
akhlak terhadap tanah, air, udara dsb. Akhlak terhadap manusia dan bukan
manusia, kini disebut akhlak terhadap lingkungan hidup.
dan akhlak merupakan sikap yang patut
kita jaga karena akhlak bisa berdampak dari sisi nilai positif dan negatifnya
tinggal kita melakukan upaya dalam jiwa kita dalam sikap perbuatan atau tingkah
laku terhapad orang lain
TRADISI MUHAMMADIYAH
Secara
umum tradisi-tradisi muhammadiyah banyak
di bagi kelompok dalam pembahasan muhammadiyah dan ruang lingkup yang
luas untuk pembahasannya kita ambil contoh beberapa tradisi ilmu fiqih dalam
muhammadiyah
TRADISI
FIKIH MUHAMMADIYAH
Secara
umum Muhammadiyah tidak memiliki fikih yang baku sebagaimana dianut oleh oleh NU . Dalam tradisi NU misalnya, pada bidang
fiqih mereka memiliki buku-buku — yang dikenal dengan sebutan kitab kuning—
seperti Path al-Qarib, Path al-Mu’in, Fanah at-Thalibin, Ihya Ulumuddin dan
sebagainya. Sehingga mereka terorganisir dan diajarkan secara ketat dikalangan
Nadliyyin melalui madrasah-madrasah dan pengajian (muslimat) rutin. NU telah
menclaim bahwa ia adalah bermadzhab syafi’ie.
Namun
di Muhammadiyah fikih tidak dikenal. Sebab tidak ada rujukan kitab fikih
sebagaimana ditradisikan NU. Bahkan pada lembaga pendidikan formal Muhammadiyah
Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tidak diajarkan. Meski Muhammadiyah dalam ibadah
dan muamalah menggunakan hasil keputusan majelis tarjih, dikalangan
Muhammadiyah sendiri masih berbeda rupa terutama dalam menyangkut Muamalah. Hal
tersebut menjadi indikasi bahwa HPT masih belum mengikat secara penuh terhadap
warganya. Oleh karenanya menjadi benar apa yang pernah diungkapkan oleh Abdul munir
Mulkhan dalam penelitiannya.
Dalam
gagasan dasar Muhammadiyah mengklaim sebagai gerakan pembaharuan yang tidak mau
terjebak pada polarisasi madzhab. Oleh karenanya Muhammadiyah kemudian membuat
rumusan metodologi manhaj tarjih. Metodologi manhaj tarjih yang dirumuskan dan
diimplementasikan oleh Muhammadiyah tentu meliputi seperangkat metode,
pendekatan atau kerangka berpikir. Maka dengan sendirinya apa yang dilakukan
oleh Muhammadiyah mengarah pada pembentukan madzhab baru. .
tapi sampai saat ini secara organisasi
Muhammadiyah tidak pernah menyatakan bermadzhab. Meski Muhammadiyah secara
idiologis memiliki kesamaan dengan Madzhab hambali tapi menyangkut fikih
Muhammadiyah tidak bermadzhab Hambali. Namun demikian, bagi warga Muhammadiyah
yang merujuk pada pemikiran Madzhab Hambali dalam Ibadah atau Muamalah tidak
menjadi persoalan.
TRADISI
TAHLILLAN DALAM MUHAMMADIYAH
Sebagaimana sudah pernah dibahas dalam Majalah Suara Muhammadiyah dan
dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II yang diterbitkan Muhammadiyah, tahlilan
tidak ada sumbernya dalam ajaran Islam. Tradisi selamatan kematian 7 hari, 40
hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk orang yang meninggal dunia, sesungguhnya
merupakan tradisi agama Hindu dan tidak ada sumbernya dari ajaran Islam.
Muhammadiyah menganggap bahwa keberadaan tahlil pada dasarnya tidak bisa
dilepaskan dari tradisi tarekat. Ini bisa diketahui dari terdapatnya
gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk melafalkan bacaan tahlil
sebagai bagian dari metode mendekatkan diri pada Allah. Dari tradisi tarekat
inilah kemudian berkembang model-model tahlil atau tahlilan di kalangan umat
Islam Indonesia.
Dalam tanya jawab masalah Agama di Suara Muhammadiyah disebutkan
macam-macam tahlil atau tahlilan. Di lingkungan Keraton terdapat tahlil rutin,
yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam Jum'at dan Selasa Legi; tahlil
hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika keraton mempunyai hajat-hajat
tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja, labuhan, hajat perkawinan,
kelahiran dan lainnya. Di masyarakat umum juga berkembang bentuk-bentuk tahlil
dan salah satunya adalah tahlil untuk orang yang meninggal dunia.
Muhammadiyah yang notabenenya mengaku masuk dalam kalangan para pendukung
gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian ajaran
Islam, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai bid'ah
yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar