Jumat, 22 November 2013

ARTIKEL AKHLAK DAN TRADISI MUHAMMADIYAH

ARTIKEL AKHLAK DAN TRADISI MUHAMMADIYAH

Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia.
Dalam etimologi arti akhlak adalah kebiasaan atau perbuatan. MenurutProf. Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak adalah kebiasaan, kehendak.Di dalam Ensiklopedi pendidikan bahwa akhlak adalah budi pekerti, watak, kesusilaan yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama manusia.
Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti sabar, syukur, tawakal, birrul walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul Mahmudah). Dan sombong, takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya (Al-Akhlaqul Madzmuham).Sedangkan akhlak menurut Iman Al-Ghozaly, Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan.
Jadi pada hakekatnya Akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah menetap dalam jiwa dan kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa pemikiran.Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakan akhlak yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah akhlak yang buruk. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa akhlak yang baik dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah.[21]
Segala perbuatan yang dilakukan manusia tidak terlepas dari konsep akhlak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup akhlak sangat luas. Kata akhlak memiliki kemiripan makna dengan etika, moral, dan budi pekerti, sehingga makna akhlak sering disamakan dengan etika, moral, dan budi pekerti.


Ruang lingkup akhlak dalam pandangan syariat Islam sangat luas. Akhlak tidak hanya membahas masalah etika pergaulan dan sopan santun saja, tetapi meliputi pola pikir, selera, pandangan, sikap, perilaku, kecenderungan, dan keinginan yang ada pada seseorang.
Dalam Islam, akhlak mempunyai ruang lingkup yang lebih luas. Selain terkait dengan muamalah, akhlak dalam Islam juga meliputi masalah ibadah, sosial, hukum, dan lain-lain. Salah satu contohnya, yaitu akhlak terhadap Allah swt. Misalnya, adanya kewajiban menjalankan rukun Islam dan rukun iman. Ketika sudah melaksanakan syahadat, salat, dan puasa, berarti kita dikatakan berakhlak terhadap Allah swt.
Syarat dan Pembagian Akhlak
Suatu perbuatan baru dapat disebut cerminan akhlak, jika memenuhi syarat :
1. Dilakukan berulang-ulang sehingga hampir menjadi suatu kebiasaan.
2. Timbul dengan sendirinya, tanpa pertimbangan yang lama dan di pikir-pikir terlebih     dahulu.
                                                     
Secara garis besarnya akhlak dibagi dua, yaitu :
1. Akhlak terhadap Allah SWT.
2. Akhlak terhadap makhluk (semua ciptaan Allah SWT.)
Akhlak terhadap makhluk dapat dibagi dua, yaitu :
1.Akhlak terhadap manusia
2.Akhlak terhadap bukan manusia
          Akhlak terhadap manusia dibagi dua, yaitu :
1.Akhlak terhadap diri sendiri
2.Akhlak terhadap orang lain
Akhlak terhadap bukan manusia dibagi dua, yaitu :
1.Akhlak terhadap makhluk hidup bukan manusia, seperti akhlak terhadap tumbuh- tumbuhan      flora  dan fauna                                        
2. Akhlak terhadap makhluk (mati) bukan manusia, seperti akhlak terhadap tanah, air, udara dsb. Akhlak terhadap manusia dan bukan manusia, kini disebut akhlak terhadap lingkungan hidup.
     
        dan akhlak merupakan sikap yang patut kita jaga karena akhlak bisa berdampak dari sisi nilai positif dan negatifnya tinggal kita melakukan upaya dalam jiwa kita dalam sikap perbuatan atau tingkah laku terhapad orang lain
TRADISI MUHAMMADIYAH
Secara umum tradisi-tradisi muhammadiyah banyak  di bagi kelompok dalam pembahasan muhammadiyah dan ruang lingkup yang luas untuk pembahasannya kita ambil contoh beberapa tradisi ilmu fiqih dalam muhammadiyah
TRADISI FIKIH MUHAMMADIYAH
Secara umum Muhammadiyah tidak memiliki fikih yang baku sebagaimana dianut oleh oleh  NU . Dalam tradisi NU misalnya, pada bidang fiqih mereka memiliki buku-buku — yang dikenal dengan sebutan kitab kuning— seperti Path al-Qarib, Path al-Mu’in, Fanah at-Thalibin, Ihya Ulumuddin dan sebagainya. Sehingga mereka terorganisir dan diajarkan secara ketat dikalangan Nadliyyin melalui madrasah-madrasah dan pengajian (muslimat) rutin. NU telah menclaim bahwa ia adalah bermadzhab syafi’ie.
Namun di Muhammadiyah fikih tidak dikenal. Sebab tidak ada rujukan kitab fikih sebagaimana ditradisikan NU. Bahkan pada lembaga pendidikan formal Muhammadiyah Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tidak diajarkan. Meski Muhammadiyah dalam ibadah dan muamalah menggunakan hasil keputusan majelis tarjih, dikalangan Muhammadiyah sendiri masih berbeda rupa terutama dalam menyangkut Muamalah. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa HPT masih belum mengikat secara penuh terhadap warganya. Oleh karenanya menjadi benar apa yang pernah diungkapkan oleh Abdul munir Mulkhan dalam penelitiannya.
Dalam gagasan dasar Muhammadiyah mengklaim sebagai gerakan pembaharuan yang tidak mau terjebak pada polarisasi madzhab. Oleh karenanya Muhammadiyah kemudian membuat rumusan metodologi manhaj tarjih. Metodologi manhaj tarjih yang dirumuskan dan diimplementasikan oleh Muhammadiyah tentu meliputi seperangkat metode, pendekatan atau kerangka berpikir. Maka dengan sendirinya apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah mengarah pada pembentukan madzhab baru. .
 tapi sampai saat ini secara organisasi Muhammadiyah tidak pernah menyatakan bermadzhab. Meski Muhammadiyah secara idiologis memiliki kesamaan dengan Madzhab hambali tapi menyangkut fikih Muhammadiyah tidak bermadzhab Hambali. Namun demikian, bagi warga Muhammadiyah yang merujuk pada pemikiran Madzhab Hambali dalam Ibadah atau Muamalah tidak menjadi persoalan.
TRADISI TAHLILLAN DALAM MUHAMMADIYAH
Sebagaimana sudah pernah dibahas dalam Majalah Suara Muhammadiyah dan dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II yang diterbitkan Muhammadiyah, tahlilan tidak ada sumbernya dalam ajaran Islam. Tradisi selamatan kematian 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk orang yang meninggal dunia, sesungguhnya merupakan tradisi agama Hindu dan tidak ada sumbernya dari ajaran Islam.
Muhammadiyah menganggap bahwa keberadaan tahlil pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari tradisi tarekat. Ini bisa diketahui dari terdapatnya gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk melafalkan bacaan tahlil sebagai bagian dari metode mendekatkan diri pada Allah. Dari tradisi tarekat inilah kemudian berkembang model-model tahlil atau tahlilan di kalangan umat Islam Indonesia.
Dalam tanya jawab masalah Agama di Suara Muhammadiyah disebutkan macam-macam tahlil atau tahlilan. Di lingkungan Keraton terdapat tahlil rutin, yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam Jum'at dan Selasa Legi; tahlil hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika keraton mempunyai hajat-hajat tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja, labuhan, hajat perkawinan, kelahiran dan lainnya. Di masyarakat umum juga berkembang bentuk-bentuk tahlil dan salah satunya adalah tahlil untuk orang yang meninggal dunia.
Muhammadiyah yang notabenenya mengaku masuk dalam kalangan para pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian ajaran Islam, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai bid'ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar